Kamis, 05 Juli 2012

Ilmu ekonomi syariah

Prof Dr. H. Nur Syam, M.Si.
Rektor IAIN Sunan Ampel
 
      Ada perbincangan menarik di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ekonomi Islam (EKI) di gedung Representative IDB Jakarta minggu lalu. Acara yang dihadiri oleh rektor PTAIN dan PTN tersebut mendiskusikan tentang keberadaan Konsorsium Ekonomi Islam di tengah pergumulan perkembangan ilmu ekonomi konvensional dan kecenderungan pengembangan ekonomi alternatif.
Perbincangan yang menarik tersebut berasal dari pertanyaan dasar, apakah ke depan yang akan dijadikan sebagai nomenklatur tersebut ilmu ekonomi Islam atau ilmu ekonomi syariah? Diskusi ini menjadi menarik, sebab memang masih ada varian di dalam memandang keberadaan ilmu ekonomi Islam ini.
Ada yang menyatakan bahwa yang relevan adalah ilmu ekonomi syariah, sebab jika dilihat dari berbagai praktik penyelenggaraannya, maka yang banyak digunakan adalah kata “syariah”. Misalnya Bank Syariah, pegadaian Syariah, akuntansi syariah, manajemen perbankan syariah dan sebagainya. Oleh karena itu, kebanyakan sarjana syariah lebih cocok menamakannya dengan ilmu ekonomi syariah. Tidak kurang yang berpendapat seperti ini adalah Prof. Dr. Muhibbin, MA, rektor IAIN Walisongo. Beliau adalah tipe akademisi yang memang berasal dari Fakultas Syariah. Jadi, ekonomi syariah merupakan jawaban yang tepat untuk kepentingan merumuskan nomenklatur tersebut.
Sementara yang lain, terutama yang berasal dari perguruan tinggi umum lebih cenderung menggunakan istilah ilmu ekonomi Islam. Nomenklatur ini yang telah lama digunakan semenjak PTN mendirikan prodi ekonomi Islam. Seperti universitas Airlangga, maka semenjak awal sudah menggunakan istilah ekonomi Islam. Demikian pula program studi ini di tempat lain.
Istilah syariah memang banyak digunakan oleh dunia praktik bisnis sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini. Makanya, ekonomi syariah juga terkait dengan praktik penyelenggaraan bisnis berbasis Islam. Sebagaimana perbankan syariah, dan sebagainya. Jadi, konsep syariah memang mengandung dimensi aksiologis dari keilmuan ekonomi ini.
Untuk membicarakan nomenklatur ilmu ini, maka sebaiknya dilihat dari pembidangan ilmu. Yaitu yang disebut sebagai disiplin dan sub disiplin. Atau bisa juga didiskusikan dari dimensi ilmu terapan dan ilmu murni. Layaknya ilmu ekonomi konvensional, maka tentu juga terdapat ilmu yang applied dan yang pure.
Saya berpandangan bahwa antara ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi syariah bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan salah satu dalam merumuskan nomenklaturnya. Akan tetapi harus dilihat dari dimensi disiplin keilmuan atau dimensi teoretik dan praksis atau dunia ilmu murni dan ilmu terapan.
Makanya, ilmu ekonomi Islam adalah aspek disiplin keilmuannya, sedangkan ilmu ekonomi syariah adalah dimensi sub disiplinnya. Atau dengan kata lain, bahwa ilmu ekonomi Islam adalah dimensi teoretiknya dan ilmu ekonomi syariah adalah dimensi praksisnya. Melalui pembidangan seperti ini, maka perdebatan apakah ilmu ekonomi Islam atau ilmu ekonomi syariah menjadi tidak urgen.
Jika pandangan ini disepakati, maka tugas berikutnya adalah menemukan dimensi ontologisnya, dan juga aksiologisnya. Tentu untuk kepentingan ini, maka harus ada kegiatan seminar atau workshop untuk menemukannya. Program ini dapat diusung oleh dua institusi yaitu kementerian agama dalam hal ini adalah PTAIN dan kementerian pendidikan dan kebudayaan dalam hal ini adalah PTN.
Kemudian acara ini juga harus dihadiri oleh pakar ilmu ekonomi konvensional dan pakar ilmu ekonomi Islam dan juga ahli hukum Islam khususnya muamalah. Melalui kegiatan sinergik seperti ini, maka kita berkeyakinan bahwa ilmu ekonomi Islam akan berkembang lebih progresif di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar