Rektor IAIN Sunan Ampel
Ada
perbincangan menarik di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh
Konsorsium Ekonomi Islam (EKI) di gedung Representative IDB Jakarta
minggu lalu. Acara yang dihadiri oleh rektor PTAIN dan PTN tersebut
mendiskusikan tentang keberadaan Konsorsium Ekonomi Islam di tengah
pergumulan perkembangan ilmu ekonomi konvensional dan kecenderungan
pengembangan ekonomi alternatif.
Perbincangan yang menarik tersebut berasal dari pertanyaan dasar,
apakah ke depan yang akan dijadikan sebagai nomenklatur tersebut ilmu
ekonomi Islam atau ilmu ekonomi syariah? Diskusi ini menjadi menarik,
sebab memang masih ada varian di dalam memandang keberadaan ilmu
ekonomi Islam ini.
Ada yang menyatakan bahwa yang relevan adalah ilmu ekonomi syariah,
sebab jika dilihat dari berbagai praktik penyelenggaraannya, maka yang
banyak digunakan adalah kata “syariah”. Misalnya Bank Syariah, pegadaian
Syariah, akuntansi syariah, manajemen perbankan syariah dan
sebagainya. Oleh karena itu, kebanyakan sarjana syariah lebih cocok
menamakannya dengan ilmu ekonomi syariah. Tidak kurang yang berpendapat
seperti ini adalah Prof. Dr. Muhibbin, MA, rektor IAIN Walisongo.
Beliau adalah tipe akademisi yang memang berasal dari Fakultas Syariah.
Jadi, ekonomi syariah merupakan jawaban yang tepat untuk kepentingan
merumuskan nomenklatur tersebut.
Sementara yang lain, terutama yang berasal dari perguruan tinggi umum
lebih cenderung menggunakan istilah ilmu ekonomi Islam. Nomenklatur ini
yang telah lama digunakan semenjak PTN mendirikan prodi ekonomi Islam.
Seperti universitas Airlangga, maka semenjak awal sudah menggunakan
istilah ekonomi Islam. Demikian pula program studi ini di tempat lain.
Istilah syariah memang banyak digunakan oleh dunia praktik bisnis
sebagaimana yang kita ketahui dewasa ini. Makanya, ekonomi syariah juga
terkait dengan praktik penyelenggaraan bisnis berbasis Islam.
Sebagaimana perbankan syariah, dan sebagainya. Jadi, konsep syariah
memang mengandung dimensi aksiologis dari keilmuan ekonomi ini.
Untuk membicarakan nomenklatur ilmu ini, maka sebaiknya dilihat dari
pembidangan ilmu. Yaitu yang disebut sebagai disiplin dan sub disiplin.
Atau bisa juga didiskusikan dari dimensi ilmu terapan dan ilmu murni.
Layaknya ilmu ekonomi konvensional, maka tentu juga terdapat ilmu yang
applied dan yang pure.
Saya berpandangan bahwa antara ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi
syariah bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan salah satu dalam
merumuskan nomenklaturnya. Akan tetapi harus dilihat dari dimensi
disiplin keilmuan atau dimensi teoretik dan praksis atau dunia ilmu
murni dan ilmu terapan.
Makanya, ilmu ekonomi Islam adalah aspek disiplin keilmuannya,
sedangkan ilmu ekonomi syariah adalah dimensi sub disiplinnya. Atau
dengan kata lain, bahwa ilmu ekonomi Islam adalah dimensi teoretiknya
dan ilmu ekonomi syariah adalah dimensi praksisnya. Melalui pembidangan
seperti ini, maka perdebatan apakah ilmu ekonomi Islam atau ilmu
ekonomi syariah menjadi tidak urgen.
Jika pandangan ini disepakati, maka tugas berikutnya adalah menemukan
dimensi ontologisnya, dan juga aksiologisnya. Tentu untuk kepentingan
ini, maka harus ada kegiatan seminar atau workshop untuk menemukannya.
Program ini dapat diusung oleh dua institusi yaitu kementerian agama
dalam hal ini adalah PTAIN dan kementerian pendidikan dan kebudayaan
dalam hal ini adalah PTN.
Kemudian acara ini juga harus dihadiri oleh pakar ilmu ekonomi
konvensional dan pakar ilmu ekonomi Islam dan juga ahli hukum Islam
khususnya muamalah. Melalui kegiatan sinergik seperti ini, maka kita
berkeyakinan bahwa ilmu ekonomi Islam akan berkembang lebih progresif di
masa yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar